ISLAM dalam INTERAKSI
SOSIAL
Judul tulisan ini diilhami munculnya fenomena kesulitan (kegamangan) sebagian umat dalam membumikan dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam interaksi sosial. Kesulitan ini bukan bersumber dari rumitnya ajaran Islam, tetapi justru berakar dari sikap sebagian pemeluk Islam ambigu dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan ajaran yang sangat ideal dan manusiawi. Sampai detik ini, umat Islam belum mampu memanfaatkan ajaran dan nilai Islam secara tepat dan fungsional untuk menciptakan kemaslahatan dalam membangun relasi sosial, baik antara sesama manusia maupun dengan lingkungan.
Di satu sisi, secara normatif umat Islam selalu menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmah, menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan. Untuk memperkuat argumentasi ini, digunakan sederet dalil tekstual yang tidak mungkin bisa dibantah, mulai teks Alquran, Hadis sampai kitab-kitab muktabar.
Sayangnya seluruh argumentasi ini menjadi mandul dan mandek ketika berhadapan dengan realitas sosial. Idealitas nilai dan ajaran yang ada dalam teks seolah berhenti ketika harus diterapkan dalam belantara kehidupan dengan berbagai problematikanya. Apalagi kalau di balik problem kehidupan itu tersembunyi berbagai kepentingan.
Kenyataan seperti ini pernah penulis alami ketika pada tahun 90-an melakukan penelitian di Jogjakarta, mengenai erakebangkitan agama dalam relasi sosial masyarakat desa. Era kebangkitan agama (Islam) saat itu ditandai dengan pendirian ICMI, “penghijauan kabinet”, menjamurnya kegiatan keagamaan di kantor-kantor, bahkan meningkatnya praktik beribadah di kalangan tokoh dan pejabat tinggi.
Dalam suasana seperti ini, penulis mengajukan pertanyaan kepada informan mengenai perasaan dan pengalaman mereka atas munculnya fenomena kebangkitan agama (Islam) dalam kehidupan sosial mereka. Para informan yang rata-rata orang desa, berpendidikan rendah dengan taraf pendapatan ekonomi rendah itu justru menyatakan kebingungan dan keanehan dengan adanya kebangkitan agama tersebut.
Secara polos dia bercerita; sebelum ada gerakan pengajian di desanya, sebelum kegiatan Islam marak dijalankan, merekahidup rukun dan damai dengan para tetangga. Interaksi sosial berjalan rukun dan guyub tanpa prasangka dan curiga.
Tak ada sekat-sekat kultural, sosial, apalagi ideologis yang memisahkan antarmereka. Ketika ada kematian, seluruh tetangga, bahkan berlainan desa dan berlainan agama datang melayat, mereka tidak peduli agama orang yang meninggaI. Hal yang sama terjadi saat acara selametan, biarpun doa dan ritus selamatan dilakukan 'secara Islam' tetangga yang non-Muslim ikut datang, sekadar menghormati undangan tetangga, demikian sebaliknya.
Akar-akar Ambiguitas
Apa yang terjadi menunjukkan sikap ambigu di kalangan sebagian umat Islam. Di satu sisi, mereka mengagungkan ajaran Islam yang cinta damai (QS. Al-Anfal: 61), manusiawi (QS. Al-Isra: 70 dan at-Tin:4) dan merdeka dalam memilih agama (QS. Al-Baqarah: 256). Namun di sisi lain, ketika dihadapkan realitas sosial dengan berbagai kompleksitas dan kepentingan yang menyertainya, seluruh idealitas itu hilang. Yang muncul kemudian sikap curiga, prasangka, sentimen dan berbagai macam kekhawatiran.
Agar kekhawatiran dan kecurigaan tersebut memiliki dasar yang legitimate, maka kemudian disembunyikan di balik selubung teks-teks agama. Sehingga kebencian dan kecurigaan tersebut menjadi sah dan wajar karena atas nama agama.
Mengapa bisa terjadi demikian? Menurut penulis ini terjadi karena pemahaman keagamaan yang rancu.
Mereka belum bisa memilah antara persoalan (tuntutan) kemanusiaan yang sifatnya profan (duniawi) dengan masalah keimanan yang teologis dan sakral. Semua persoalan, termasuk relasi sosial antarmanusia diukur dengan perspektif teologis yang sakral dan berdimensi tauhid. Padahal secara tegas Nabi menyatakan bahwa atum a'lamu bi umuurid dunyakum (Engkau lebih mangerti dalam urusan duniamu). Ini artinya manusia diberi kepercayaan Allah mengatur dan membina realitas sosial sesuai kreativitas dan konteks masing-masing.
Kedua, sikap ambigu ini merupakan cermin adanya problem interpretatif terhadap ajaran agama. Artinya, orang-orang Islam yang bersikap eksklusif tersebut memahami teks dan nasih secara tekstual tanpa melakukan interpretasi dan aktualisasi. Mereka tidak menangkap pesan-pesan moral dan spirit yang terkandung dalam teks, tetapi memahami terjemahan teks tersebut apa adanya. Padahal dengan menangkap spirit dan substansi teks tersebut ummat Islam dapat melakukan aktualisasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang mulia. (??)
Dengan kata lain ajaran Islam yang shoheh fi kulli zamanin we makanin (benar di setiap waktu dan tempat) hanya dapat dibuktikan jika umat Islam mampu melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi. Dengan cara ini, ajaran Islam bisa dioperasionalkan dalam kondisi apapun dan saat kapanpun. Tanpa ini, ajaran Islam yang agung hanya menjadi teks-teks beku yang hanya diucapkan dan dijadikan legitimasi saja, tidak bisa dioperasionalkan konkret karena dianggap tidak memiliki relevansi dengan kondisi zaman dan situasi sosial.
Dalam hal ini kita bisa meniru perilaku Nabi yang menjenguk seorang kafir Qurasy yang sedang sakit, padahal orang tersebut sering menyakiti dan mengganggu dakwah Nabi. Kisah ini memberi gambaran bahwa dalam melakukan interaksi sosial, Nabi menggunakan hukum-hukum dan etika sosial yang manusiawi.
Beliau melihat persoalan kemanusiaan dari perspektif hubungan antarmanusia bukan dari perspektif teologis dan keimanan. Perbedaan keimanan bukan menjadi penghalang melakukan interaksi sosial. Kalau terhadap orang kafir yang pernah manyakiti, Nabi mau besuk dan mendoakan, apalagi terhadap tetangga, relasi dan kawan baik yang tidak pernah mengganggu. Rasanya wajar jika umat Islam memberikan ucapan selamat atau menghadiri undangan dari tetangga, kawan dan relasi non-muslim. Sejauh hal itu dilakukan wajar, sekadar menjaga relasi dan interaksi sosial antarsesama manusia.
Sikap seperti ini tidak akan mengurangi nilai keunggulan ajaran Islam atau merusak keimanan. Keunggulan dan kemuliaan ajaran Islam justru akan terlihat jika perilaku dan akhlak sosial ummat Islam bisa memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian kepada orang lain. Kekaguman orang lain pada ajaran Islam akan muncul jika ummat Islam mampu bersikap elegan dan simpatik, karena sebenarnya inilah etika sosial yang diajarkan Islam. Sebaliknya Islam justru menjadi mandul ketika dihadapkan pada sikap sentimen yang dangkal dan emosional, penuh prasangka.
Inilah problem utama umat Islam saat ini, menghilangkan sikap ambigu yang menjarakkan idealitas ajaran dengan realitas sosial yang konkret dan kompleks. Berjaraknya idealitas ajaran dengan realitas sosial bisa diatasi dengan cara menghilangkan prasangka dan curiga. Sikap penuh prasangka dan curiga ini tidak saja mengganggu proses interaksi sosial, tetapi juga mengerdilkan ajaran Islam yang mulia dan universal.
Untuk menghilangkan prasangka dan curiga diperlukan keberanian menjabarkan dan mempraktikkan Islam secara elegan, beradab, manusiawi dan tegas. Umat Islam tidak perlu khawatir dengan sikap humanis dan toleran dalam melakukan interaksi sosial Islam akan menjadi lemah, sebaliknya dengan sikap simpatik, elegan dan beradab justru bisa mengangkat dan menarik simpati semua manusia.
Di sini dibutuhkan keberanian, kedewasaan dan keikhlasan dalam memahami dan menjalankan Islam. Bukankah kejayaan dan keunggulan Islam terletak pada ajarannya yang humanis, ramah dan beradab? Bagaimana kita membuktikan ajaran yang ramah dan beradab kalau kita menjadikan Islam sebagai tembok penghalang barinteraksi dengan orang lain? (?????)
Judul tulisan ini diilhami munculnya fenomena kesulitan (kegamangan) sebagian umat dalam membumikan dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam interaksi sosial. Kesulitan ini bukan bersumber dari rumitnya ajaran Islam, tetapi justru berakar dari sikap sebagian pemeluk Islam ambigu dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan ajaran yang sangat ideal dan manusiawi. Sampai detik ini, umat Islam belum mampu memanfaatkan ajaran dan nilai Islam secara tepat dan fungsional untuk menciptakan kemaslahatan dalam membangun relasi sosial, baik antara sesama manusia maupun dengan lingkungan.
Di satu sisi, secara normatif umat Islam selalu menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmah, menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan. Untuk memperkuat argumentasi ini, digunakan sederet dalil tekstual yang tidak mungkin bisa dibantah, mulai teks Alquran, Hadis sampai kitab-kitab muktabar.
Sayangnya seluruh argumentasi ini menjadi mandul dan mandek ketika berhadapan dengan realitas sosial. Idealitas nilai dan ajaran yang ada dalam teks seolah berhenti ketika harus diterapkan dalam belantara kehidupan dengan berbagai problematikanya. Apalagi kalau di balik problem kehidupan itu tersembunyi berbagai kepentingan.
Kenyataan seperti ini pernah penulis alami ketika pada tahun 90-an melakukan penelitian di Jogjakarta, mengenai erakebangkitan agama dalam relasi sosial masyarakat desa. Era kebangkitan agama (Islam) saat itu ditandai dengan pendirian ICMI, “penghijauan kabinet”, menjamurnya kegiatan keagamaan di kantor-kantor, bahkan meningkatnya praktik beribadah di kalangan tokoh dan pejabat tinggi.
Dalam suasana seperti ini, penulis mengajukan pertanyaan kepada informan mengenai perasaan dan pengalaman mereka atas munculnya fenomena kebangkitan agama (Islam) dalam kehidupan sosial mereka. Para informan yang rata-rata orang desa, berpendidikan rendah dengan taraf pendapatan ekonomi rendah itu justru menyatakan kebingungan dan keanehan dengan adanya kebangkitan agama tersebut.
Secara polos dia bercerita; sebelum ada gerakan pengajian di desanya, sebelum kegiatan Islam marak dijalankan, merekahidup rukun dan damai dengan para tetangga. Interaksi sosial berjalan rukun dan guyub tanpa prasangka dan curiga.
Tak ada sekat-sekat kultural, sosial, apalagi ideologis yang memisahkan antarmereka. Ketika ada kematian, seluruh tetangga, bahkan berlainan desa dan berlainan agama datang melayat, mereka tidak peduli agama orang yang meninggaI. Hal yang sama terjadi saat acara selametan, biarpun doa dan ritus selamatan dilakukan 'secara Islam' tetangga yang non-Muslim ikut datang, sekadar menghormati undangan tetangga, demikian sebaliknya.
Akar-akar Ambiguitas
Apa yang terjadi menunjukkan sikap ambigu di kalangan sebagian umat Islam. Di satu sisi, mereka mengagungkan ajaran Islam yang cinta damai (QS. Al-Anfal: 61), manusiawi (QS. Al-Isra: 70 dan at-Tin:4) dan merdeka dalam memilih agama (QS. Al-Baqarah: 256). Namun di sisi lain, ketika dihadapkan realitas sosial dengan berbagai kompleksitas dan kepentingan yang menyertainya, seluruh idealitas itu hilang. Yang muncul kemudian sikap curiga, prasangka, sentimen dan berbagai macam kekhawatiran.
Agar kekhawatiran dan kecurigaan tersebut memiliki dasar yang legitimate, maka kemudian disembunyikan di balik selubung teks-teks agama. Sehingga kebencian dan kecurigaan tersebut menjadi sah dan wajar karena atas nama agama.
Mengapa bisa terjadi demikian? Menurut penulis ini terjadi karena pemahaman keagamaan yang rancu.
Mereka belum bisa memilah antara persoalan (tuntutan) kemanusiaan yang sifatnya profan (duniawi) dengan masalah keimanan yang teologis dan sakral. Semua persoalan, termasuk relasi sosial antarmanusia diukur dengan perspektif teologis yang sakral dan berdimensi tauhid. Padahal secara tegas Nabi menyatakan bahwa atum a'lamu bi umuurid dunyakum (Engkau lebih mangerti dalam urusan duniamu). Ini artinya manusia diberi kepercayaan Allah mengatur dan membina realitas sosial sesuai kreativitas dan konteks masing-masing.
Kedua, sikap ambigu ini merupakan cermin adanya problem interpretatif terhadap ajaran agama. Artinya, orang-orang Islam yang bersikap eksklusif tersebut memahami teks dan nasih secara tekstual tanpa melakukan interpretasi dan aktualisasi. Mereka tidak menangkap pesan-pesan moral dan spirit yang terkandung dalam teks, tetapi memahami terjemahan teks tersebut apa adanya. Padahal dengan menangkap spirit dan substansi teks tersebut ummat Islam dapat melakukan aktualisasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang mulia. (??)
Dengan kata lain ajaran Islam yang shoheh fi kulli zamanin we makanin (benar di setiap waktu dan tempat) hanya dapat dibuktikan jika umat Islam mampu melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi. Dengan cara ini, ajaran Islam bisa dioperasionalkan dalam kondisi apapun dan saat kapanpun. Tanpa ini, ajaran Islam yang agung hanya menjadi teks-teks beku yang hanya diucapkan dan dijadikan legitimasi saja, tidak bisa dioperasionalkan konkret karena dianggap tidak memiliki relevansi dengan kondisi zaman dan situasi sosial.
Dalam hal ini kita bisa meniru perilaku Nabi yang menjenguk seorang kafir Qurasy yang sedang sakit, padahal orang tersebut sering menyakiti dan mengganggu dakwah Nabi. Kisah ini memberi gambaran bahwa dalam melakukan interaksi sosial, Nabi menggunakan hukum-hukum dan etika sosial yang manusiawi.
Beliau melihat persoalan kemanusiaan dari perspektif hubungan antarmanusia bukan dari perspektif teologis dan keimanan. Perbedaan keimanan bukan menjadi penghalang melakukan interaksi sosial. Kalau terhadap orang kafir yang pernah manyakiti, Nabi mau besuk dan mendoakan, apalagi terhadap tetangga, relasi dan kawan baik yang tidak pernah mengganggu. Rasanya wajar jika umat Islam memberikan ucapan selamat atau menghadiri undangan dari tetangga, kawan dan relasi non-muslim. Sejauh hal itu dilakukan wajar, sekadar menjaga relasi dan interaksi sosial antarsesama manusia.
Sikap seperti ini tidak akan mengurangi nilai keunggulan ajaran Islam atau merusak keimanan. Keunggulan dan kemuliaan ajaran Islam justru akan terlihat jika perilaku dan akhlak sosial ummat Islam bisa memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian kepada orang lain. Kekaguman orang lain pada ajaran Islam akan muncul jika ummat Islam mampu bersikap elegan dan simpatik, karena sebenarnya inilah etika sosial yang diajarkan Islam. Sebaliknya Islam justru menjadi mandul ketika dihadapkan pada sikap sentimen yang dangkal dan emosional, penuh prasangka.
Inilah problem utama umat Islam saat ini, menghilangkan sikap ambigu yang menjarakkan idealitas ajaran dengan realitas sosial yang konkret dan kompleks. Berjaraknya idealitas ajaran dengan realitas sosial bisa diatasi dengan cara menghilangkan prasangka dan curiga. Sikap penuh prasangka dan curiga ini tidak saja mengganggu proses interaksi sosial, tetapi juga mengerdilkan ajaran Islam yang mulia dan universal.
Untuk menghilangkan prasangka dan curiga diperlukan keberanian menjabarkan dan mempraktikkan Islam secara elegan, beradab, manusiawi dan tegas. Umat Islam tidak perlu khawatir dengan sikap humanis dan toleran dalam melakukan interaksi sosial Islam akan menjadi lemah, sebaliknya dengan sikap simpatik, elegan dan beradab justru bisa mengangkat dan menarik simpati semua manusia.
Di sini dibutuhkan keberanian, kedewasaan dan keikhlasan dalam memahami dan menjalankan Islam. Bukankah kejayaan dan keunggulan Islam terletak pada ajarannya yang humanis, ramah dan beradab? Bagaimana kita membuktikan ajaran yang ramah dan beradab kalau kita menjadikan Islam sebagai tembok penghalang barinteraksi dengan orang lain? (?????)
Adab Interaksi Sosial dalam Kehidupan Muslim (Adabut Ta’amul
Fil Jama’ah)
Manusia adalah makhluq
sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan
bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat
menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling
ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin
ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam
kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)
Oleh
karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya,
agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini
amat penting bagi kaum muslimin.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)
Bahkan
Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan
kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 1-3).
Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa
mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat
dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.
Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa
melakukan ta’awun, misalnya dengan saling membangunkan untuk sahur,
mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa.
Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang
syari’at, dsb. Di bulan Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial
yang berkelanjutan, mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk
merajut kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu
kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam.
1. Silaturahim
Islam
menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang
jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam
bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam
dosa-dosa besar. “Tidak masuk surga
orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu
dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu
termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini
juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
Apa saja yang bisa dilakukan
untuk memuliakan tetangga, diantaranya:
- Menjaga hak-hak tetangga
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.
4. Saling menziarahi.
Rasulullah
SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad
bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu
serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada
Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya.
Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan
hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW:
Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh
seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan
ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan
pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya;
Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang
kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat;
Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih
kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
5. Memberi ucapan selamat.
Islam
amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan,
kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang
disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan
selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.
Sesungguhnya
ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah
SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan
surga. Misalnya;
“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka
mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).
“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra
yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),
Rasulullah
SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu
bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.
6 Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang
yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko
yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis
masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk
berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk
mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar
dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta
tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang
lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita
diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya
untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal
yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al
Maa’un: 1-3).
<b>BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM</b>
- Muamalah dengan yang setimpal.
- Tidak mengakui kekufuran mereka.
- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.
- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.
- Tidak mengakui kekufuran mereka.
- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.
- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.
Dari
uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan
perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa
wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada
Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan
diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , menyajikan kebaikan-kebaikan di
tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka
lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. Dus, defisit keburukan.
Sementara
yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang “surplus
keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam jumlah besar di
jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya tanpa adanya
sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk
anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam
perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang kehidupan
kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang sebenarnya negara ini
bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang
menyesakkan dada.
Atas
dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah
menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah mendapatkan salam
dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah
curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati
orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini layaknya
kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush sholeh, dimana banyak
orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, hanya kerena mengharap ridho
Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua orang di zaman salafush shaleh,
sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh
seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan sebatang
emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya emas itu kepada si
penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual semuanya apapun
didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak bersedia menerima kembali karena
dia hanya bermaksud membeli tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan
emas. Akhirnya diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang
menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan si penjual
tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah masalah.
Demikianlah
jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, yang akan
menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang
kita impikan, surplus kebaikan.
Di zaman
sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat yang
tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan marah, suka
shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat
tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana sering
didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, bahkan
ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat menjelang
ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan mempersilakan siapa saja
untuk ifthor di sana, gratis!
Sungguh
nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap tempat.
Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan sebagaimana
yang sebelumnya.
Untuk
itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan
peradaban seperti itu.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
(Al Hajj: 77).
<b>BAGAIMANA ADAB BERINTERAKSI DENGAN
MASYARAKAT?</b>
Dengan
atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kemestian sosial.
Bagi seorang muslim untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu
dilakukan dnegan berinteraksi dengan masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dnegan
da’wah. Karena karakter da’wah sendiri harus berbaur dengan masyarakat
(mukholathoh), yaitu dengan mukholathoh yang ijabi (positif).
Dengan
demikian thobiah da’wah itu adalah da’wah ammah. Da’wah khoshshoh bukan
merupakan suatu <i>badil</i> (pengganti) bagi da’wah ammah tetapi
lebih merupakan unsur penunjangnya. Karena da’wah ammah belum dapat dimunculkan
sebagaimana mestinya. Berinteraksi dengan masyarakat dimulai dari yang terdekat
dengan kita. Kita melihatnya dengan mizanud da’wah, sementara sikap atau asas
berinteraksi dengan masyarakat adalah mu’amalah bimitsli. Sedangkan sikap
ta’amul da’wah adalah <i>‘amilun naas bimaa tuhibbu ‘an tu’aamiluuka
bihi</i>. Bagaimana atau apa yang seharusnya kita berikan kepada
masyarakat
<b>A. BERINTERAKSI DENGAN PARA DA’I YANG
LAIN</b>
Adapun
yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum
<i>indhimam</i> satu shaf dengan kita.
1. Kita
memiliki tujuan umum yang sama yaitu membela Islam dan memajukan ummat.
2. Namun
kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).
3.
Menjalin kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam hal
yang ikhtilaf.
4.
Menyenangi ijma’ untuk mencapai <i>wihdatul fikriyah</i> dan tidak
menyenangi <i>nyleneh</i> (syadz). Karena syadz berbeda dengan
ghorib. Syadz tidak punya akar apapun juga (misalnya adanya pemikiran dari
Ahmadiyah yang mengatakan bahwa semua orang baik kafir atau muslim masuk surga.
Atau pemikiran Gus Dur yang mengomentari ayat; wa lan tardlo ‘ankal yahud….dst,
sudah tak berlaku lagi). Sedangkan grorib adalah pemikiran yang baik, tetapi
tidak dikenal oleh masyarakat.
5.
Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’shub.
6. Persoalan apaun tidak perlu merusak mawaddah
di anatara kaum muslimin.
Pernah As Syahid difitnah bahwa Jinah Asykari akan menyerang Jama’ah Jihad. Tentu saja pimpinan Jama’ah Jihad marah dan meminta dialog dengan Asy Syahid untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Asy Syahid hanya menjawab dengan “sammihuuni”, maafkan saya.
Pernah As Syahid difitnah bahwa Jinah Asykari akan menyerang Jama’ah Jihad. Tentu saja pimpinan Jama’ah Jihad marah dan meminta dialog dengan Asy Syahid untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Asy Syahid hanya menjawab dengan “sammihuuni”, maafkan saya.
7.
Khilaf hendaknya dikaji secara ilmiyah, tidak hanya terhenti sebagai apologetik
(pembelaan) saja.
<b>B. BERINTERAKSI DENGAN TOKOH MASYARAKAT</b>
1. Di
tempatkan pada posisinya.
Sikap
Rasul kepada Abu Sufyan. Rumahnya dijadikan baitul qoshid. Kedudukannya tidak
direbut tetapi di ta’ziz.
2.
Dihormati di tengah-tengah para pengikutnya.
Sa’ad
bin Muadz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil putusan hukum atas bani
Quraidzah, Rasul SAW bersabda: “Quumuu ilaa sayyidatikum”.
3.
Sebitkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.
Ketika
khalifah di Tsaqifah, pidato Abu bakar sangat bijak. Ia menyebut-nyebut nikmat
Islam, jasa-jasa kaum Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu
kaum Anshar ikut mendukung.
Dalam
sebuah munasabah, Asy Syahid juga pernah diminta untuk mengisi acara semacam
tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’ sehingga
terjadi konflik dengan ulama di sekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh
panitia mengenai konflik tersebut kepada Asy Syahid sebelum acara dimulai,
akhirnya Asy Syahid mohon ijin untuk mendatangi para ulama di sekitar itu satu
per satu untuk memohon maaf kepada mereka. Setelah itu baru ia memulai ceramah.
Dua per tiga dari isi ceramahnya, menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa para
ulama tersebut terhadap Islam. Akhirnya para ulama mendatangi tempat dimana Asy
Syahid berceramah.
4.
Berhubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.
Rasulullah
menghububgi tokoh Thoif serta mendo’akan mereka.
Umar Tilmitsani ketika Sadat meninggal dunia,
ia mengucapkan do’a; “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” yang membuat ikhwah
tercengang.
5.
Memperhatikan kepentingan bersama.
Mulailah
pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik perbedaan.
Asy
Syahid memulai dari point-point yang sama kemudian mendudukkan point-point yang
berbeda.
<b>ADABUT TA’AMUL FIL JAMA’AH</b>
“Sesungguhnya jikalau engkau tak bersama mereka
maka engkau tak akan bersama selain mereka. Sekiranya mereka tak bersama
engkau, maka mereka akan bersama selain engkau”.
<b>A. DENGAN DA’WAH</b>
1.
Lepaskan hubungan dengan lembaga/jama’ah manapun terutama (dan secara khusus)
lagi jika engkau diminta untuk itu.
Hidup
dalam sebuah jama’ah memang dituntut untuk tajarrud dan profesional di
dalamnya. Kadangkala seorang a’dho’ (anggota jama’ah) diminta untuk masuk dalam
organisasi tertentu dengan tujuan untuk belajar (on mission), menjalin
hubungan, dsb. Namun adakalanya juga kita diminta untuk meninggalkannya.
Mungkin karena lembaga tersebut dinilai membahayakan secara siyasi, aqidah,
fikroh ataupun lainnya. Atas dasar itulah seorang a’dho’ harus memahami betul
akan permintaan jama’ahnya dan diterimanya dengan legowo. Sebab sebuah jama’ah
pasti mempunyai arah dan tujuan dalam menjalankan manhajnya. Semua tentunya
telah disyurokan terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang terkait. Setiap a’dho
jama’ah berperan dalam menjalankan tugasnya dengan sebuah ikatan amal jama’i.
2.
Menghidupkan budaya Islami.
a. At
tahiyat (salam).
Abdullah bin Amru bin Al-ash r.a. berkata:
Seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Apakah yang terbaik di dalam Islam?
Nabi s.a.w. menjawab: Memberi makanan dan memberi salam terhadap orang yang kau
kenal atau tidak kau kenal” (HR. Bukhari, Muslim)
Salam,
selain do’a juga merupakan pintu pembuka komunikasi. Hendaknya salam ini kita
budayakan, karena dampaknya cukup besar terhadap peradaban Islam yang akan
datang. Ketika seorang muslim yang belum kita kenal diberi salam maka dia akan
membalas salam dan biasanya dilanjutkan jabat tangan, akan terjadi komunikasi, kontak
hubungan, selanjutnya terserah anda, apakah akan berkenalan atau silaturahim,
dari sinilah muncul benih-benih ukhuwah, dst. Karena itulah Abdullah bin Umar
RA sengaja menyempatkan diri untuk pergi ke pasar, dan ia mengucapkan salam
kepada setiap muslim yang dijumpainya, sampai suatu saat dia ditanya oleh
seseorang; “Apa yang anda perbuat di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak
pula membeli dagangan, Anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar, mengapa
anda selalu ada di pasar? Jawab Ibnu Umar, ‘Aku sengaja setiap pagi pergi ke
pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada setiap muslim yang aku temui” (HR.
Bukhari).
b.
Bahasa Arab.
Bahasa
Arab adalah bahasa kesatuan kaum muslimin sedunia, bahasa yang digunakan untuk
komunikasi Allah SWT. dengan hamba-Nya (Rasulullah SAW) berupa Al Quran. Bahasa
yang telah dipilih oleh Allah SWT. ini adalah bahasa yang paling sempurna di
antara bahasa-bahasa yang ada di bumi ini. Suatu bahasa yang tetap akan terjaga
asholah-nya (keaslian) sampai hari qiyamat, tak akan terkontaminasi oleh
lajunya peradaban dunia. Tidak seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring
dengan globalisasi dan majunya peradaban. Misalnya saja bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris seratus tahun yang lalu tak mudah dipahami oleh manusia/ bangsanya
pada saat ini.
Seseorang
tak akan mampu memahami Islam dengan benar tanpa melalui kidah bahasa Arab.
Menafsirkan Al qur’an wajib menggunakan kaidah bahasa Arab, bukan dengan
kaidah/tata bahasa bahasa selainnya. Seorang muslim tak akan mungkin (mustahil
berpisah dari bahasa Arab). Untuk itu kita mesti medalami dan mensyi’arkannya
dalam kehidupan sehari hari. Asy Syahid Hasan Al Bana telah mewasiatkan: “
takallamul lughatal ‘arabiyatal fushkha fainnaha min sya’airil islam”
(Berbicaralah dengan menggunakan bahasa Arab karena hal ini merupakan bagian
dari syi’ar Islam). Shahabat Umar bin Khattab RA. pernah mengatakan:
”ta’allamul lughatal ‘arabiyah fainnaha min diinikum” (Pelajarilah bahasa Arab
karena dia adalah bagian dari dien kalian). Juga hadits Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dengan sanad dari Malik:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb itu
satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu
sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya , Arab itu adalah lisan (bahasa), maka
barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab”.
Demikianlah
kaum muslimin sedunia telah disatukan dan dipersaudarakan dengan satu bahasa,
bahasa Arab. Kita akan jaya dengan bahasa Arab.
c.
Penanggalan.
<b>Urgensi penanggalan
hijriyah:</b>
Hijrah
adalah moment terpenting dalam sejarah dakwah islamiyah. Hijrah adalah masa
peralihan dalam sejarah kaum muslimin. Sebelum hijrah mereka adalah ummatud
da’wah. Mereka menyampaikan da’wah Allah swt. kepada manusia tanpa didukung
basis politis yang bisa melindungi para da’I-nya atau menangkal serangan musuh
kepada mereka.
Setelah
hijrah berdirilah daulatud da’wah. Satu kedaulatan yang di pundaknya terletak
tanggung jawab menginternasionalisasikan Islam ke seluruh jazirah arab dan
sekitarnya.
Maka tak
heran jika masa keemasan khalifah Umar bin Khaththab RA telah sepakat
menjadikan tahun hijrah nabawiyah sebagai permulaan penanggalan Islami. Pada
waktu itu Khalifah Umar mengumpulkan sejumlah sahabat dan meminta pendapat mereka
mengenai penanggalan Islami. Tujuannya adalah bahwa dengan penanggalan tsb
mereka bisa mengetahui kapan saatnya melunasi hutang, dan lain-lain yang
berkaitan dengan penanggalan.
Seorang
sahabat memberi usulan untuk membuat penanggalan seperti Parsi, yang lain
mengusulkan seperti Romawi, namun Umar RA menolaknya. Ada juga yang mengusulkan
penanggalan berdasarkan kelahiran Rasulullah SAW, berdasarkan tahun diutusnya
Rasulullah SAW, hijrahnya atau wafatnya beliau.
Namun
pada akhirnya khalifah Umar RA cenderung membuat penanggalan berdasarkan
hijrahnya Rasulullah SAW, dengan pertimbangan bahwa hijrah adalah babak baru
munculnya Islam dan hal yang tidaka asing lagi bagi kaum muslimin.
Umar RA
tidak mau membuat penanggalan dengan bi’tsah Nabi SAW meskipun hal tersebut
penting. Hal ini disebabkan bi’tsah dan masa setelah itu Islam dan kaum
muslimin dalam kondisi lemah, mereka mustadl’afin, tak punya kekuatan apa-apa.
Sementara pucuk pimpinan saat itu adalah Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin
Mughirah dkk. Maka dari hal tsb tidaklah logis kalau dibuat penanggalannya
karena tiadak mempunyai sejengkalpun daerah kekuasaan. Sedangkan Hijrah
Nabawiyah merupakan “unjuk gigi” baik dalam konsep maupun qiyadah. Semua para
sahabat tak terkecuali punya andil dalam membuat peristiwa-peristiwa hijrah dan
sesudahnya. Setelah itu mereka menguatkannya dengan daulah Islamiyah.
Penanggalan
hijrah menunjukkan betapa kuat dan hebatnya jihad dan perjuangan ummat Islam.
Sejarah tak mungkin diukir satu orang saja, meski ia mempunyai kemampuan lebih,
bahkan ia seorang nabi atau rasul. Sesungguhnya yang membuat sejarah adalah
ummat secara keseluruhan, yaitu ummat yang berdiri di pihak rasul-Nya atau
qo’id-nya. Sudah berapa banyak rasul yang dikecewakan dan dihinakan oleh
kaumnya sendiri dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Maka sesungguhnya ummat
sekarang ini terpanggil untuk membuat sejarahnya dengan jiwa mereka sendiri.
Dengan
demikian kaum muslimin menjadi excelent (mutamayyiz) tidak mengekor ataupun
menyerupai, Yahudi, Nashrani ataupun Majusi, dll. Kita menginginkan kepribadian
yang bersih tak terkontaminasi dengan fikroh kafir yang membahayakan. Sudah
menjadi aksioma bahwa di antara pilar-pilar suatu ummat adalah sejarahnya yang
mereka banggakan yang akan menjadi ukiran peristiwa sejarah dengan penuh
perjuangan dan titik darah penghabisan.
d.
Busana.
Untuk
wanita hendaknya senantiasa menutupkan aurat-nya ketika keluar rumah, dalam hal
ini perintah Allah SWT sudah jelas. Hindari pakaian yang menimbulkan fitnah,
ataupun perdebatan. Akan tetapi walaupun sudah menutup aurat jika terlalu mewah
ataupun terlalu kumuh akan membuat peluang orang untuk menggunjingnya (dosa).
Perhatikan juga warna dan corak yang tidak mencolok hingga menarik perhatian
banyak orang. Sementara untuk laki-laki jangan memakai pakaian yang tasabuh
(meniru) orang kafir. Seperti berpakaian dengan pakaian yang biasa (khusus)
dipakai oleh para rahib atau pendeta, biksu, dsb. Hindari pakaian dengan
gambar, assesoris, simbul agama tertentu, ataupun juga gambar dan tulisan jorok.
Hal ini selain tidak berakhlaq juga akan mengusik kebersihan hati orang lain.
Untuk pakaian yang bertuliskan kata-kata tertentu, perhatikan jangan sampai
mengganggu konsentrasi orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah di masjid.
Bayangkan saja jika antum memakai kaos yang di belakangnya ada tulisan “mburiku
munyuk”, padahal antum menjadi imam shalat!
Untuk pakaian di masjid
hendaknya memakai yang terbaik yang kita miliki, terutama shalat Jum’at. Dalam
berbusana yang terpenting adalah memenuhi syarat, yaitu menutup aurat, (tidak
menampakkan ataupun menonjolkannya) dan tidak tasabuh, setelah itu bisa
menyesuaikan adat setempat. Jadi tidak harus berjubah dan bersorban ala Arab.
Namun jika hal itu untuk menandakan rasa cinta terhadap Rasul SAW dalam hal berpakaian
maka tentunya tidak mengapa. Akan tetapi hendaknya melihat kondisi masyarakat
setempat. Jika mereka anti pati dan semakin menjauhi kita gara-gara pakaian ,
maka itu belum prioritas untuk diterapkan.
3.
Mengenal ikhwah du’at dengan ma’rifah yang sempurna dan sebaliknya.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu
bersaudara” (Al Hujurat:10).
Ukhuwwah,
setelah generasi pertama ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata
penghias bibir kaum muslimin dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita
datang dengan ukhuwah islamiyahnya. Kita telah berusaha menerapkannya di
kalangan kita dan menginginkan kembalinya ikatan ummat yang saling bersaudara
dengan jiwa ukhuwah islamiyah. Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan
masyarakat, kita harus mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri.
Ikhwah
berarti saudara sedarah, sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara
sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf,
tafahum dan takaful. Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati
dirinya; fisik, pola berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. hendaknya kita tidak
lalai dalam hal ini, sebab akan dapat membawa resiko.
Pernah
dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang
panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam,
menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah “hilang” dari barisan Setelah
cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota yang “hilang”. Pemandu segera
menyusur balik dan akhirnya ditemukan. Usut punya usut ternyata ikhwah yang
tertinggal tersebut mempunyai penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah
SWT al-akh tsb selamat, tak masuk jurang.
Demikianlah
satu akibat jika kita tak pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan
mungkin al akh yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah
mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali
ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri
kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan takaful akan terwujud serta
membentuk bangunan yang kuat seiring dengan kadar soliditas ukhuwah kita.
4.
Menunaikan kewajiban maaliyah.
Jihad, selain memerlukan personil (rijal) juga
membutuhkan finansial (maal). Dahulu seorang Mujahid Muslim menyiapkan sendiri
perlengkapan, kendaraan dan perbekalan perangnya. Tak ada gaji bulanan yang diterima oleh para
pimpinan dan prajurir. Yang ada hanya suka rela menyumbangkan harta dan jiwa.
Itulah yang diperbuat oleh aqidah bila telah menjadi landasan tegaknya sistem
dan undang-undang.
Dahulu
kaum muslimin yang miskin ingin berjihad membela manhaj Allah SWT dan panji
aqidah, tak memiliki apa yang bisa dijadikan bekal untuk dirinya dan tak
memiliki perlengkapan serta kendaraan. Kemudian mereka menghadap Nabi SAW
meminta agar diikutsertakan ke medan pertempuran yang jauh, yang tak bisa
ditempuh dengan berjalan kaki. Bila Nabi SAW tak mendapatkan apa yang bisa
dipakai untuk membawa mereka maka; “mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
mereka nafkahkan” (At Taubah:92)
Banyak
ayat Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk infaq di
jalan Allah SWT. Ajakan berjihad sering diiringi dengan ajakan untuk berinfaq.
Ada juga dalam ayat Al Qur’an yang mengidentikkan orang yang tak berinfaq
dengan kebinasaan.
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah , dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al
Baqarah:195).
Tak mau berinfaq di jalan
Allah SWT adalah tindakan membinasakan jiwa dengan sifat kikir, disamping
membinasakan jama’ah dengan ketidakberdayaan dan kelemahan, khususnya dalam
suatu sistem yang didasarkan pada suka rela, sebagaimana dalam sistem Islam.
Suatu
saat seorang sahabat bernama Abu Dahdah dirinya merasa tersindir ketika Rasul
SAW dalam khutbahnya terkesan sedang membutuhkan dukungan dana. Lantas Abu
Dahdah mengatakan; “Yaa Rasulallah, saya mempunyai kebun (yang luasnya 600
pohon kurma), itu semua akan saya infaqkan fi sabilillah”. Kemudian Abu Dahdah
pulang dan konfirmasi kepada istrinya bahwa kebunnya sudah menjadi milik kaum
muslimin. Istrinya berkomentar; “robahal bai’..” (perniagaan yang
menguntungkan). Karena kebun yang sepetak itu akan diganti dengan kebun surga.
Subhanallah..
Marilah
kita galakkan syi’ar ini (zakat, infaq, shodaqoh, dsb) untuk menggapai ridha
Allah SWT.
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai ridha Allah, maka (yang berbuat demikan) itulah orang-orang yang
melipatgandakan pahalanya” (Ar rum:39).
Di samping itu kita juga
diperintahkan untuk membangun syarikat-syarikat islami untuk membangun ekonomi
ummat Islam. Ummat Islam yang tengah bangkit membutuhkan penanganan atas urusan
ekominya, karena ia merupakan persoalan paling penting saat ini. Islam sama
sekali tak mengesampingkan masalah ini, bahkan ia telah meletakkan kaidah dasar
dan konsep-konsepnya secara jelas dan tuntas. Lihatlah bagaimana Allah SWT.
mengingatkan kita untuk menjaga harta, menjelaskan nilainya dan kewajiban untuk
memperhatikannya.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna aqalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai kehidupan…”.(An Nisa’:5)
Allah SWT berfirman mengenai
keseimbangan antara infaq dan penghasilan.
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, yang karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal”. (Al Isra:29)
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak miskin orang yang hemat”
Sebagaimana
harta itu membawa manfaat kepada pribadi, maka harta itupun akan membawa
manfaat kepada ummat. Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik harta adalah harta yang ada
orang-orang shalih”.
Sistem
ekonomi yang baik -apapun namanya dan dari manapun sumbernya- akan diterima
oleh Islam. Dan ummat pun akan didorong untuk mendukung dan
menumbuhsuburkannya. Asy Syahid Hasan Al Bana telah berwasiat untuk
memperhatikan aspek ini, dengan menggalakkan kegiatan perekonomian, membuka
lapangan kerja, menangkal penindasan praktek monopoli. Selain itu juga
pengelolaan zakat yang profesional.
5.
Menyebarkan da’wah dan membentuk keluarga atas hal itu.
Hal ini
sudah ditegaskan oleh Asy Syahid dalam risalah ta’lim-nya bab amal. Pembentukan
keluarga muslim, yaitu dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai
fikrahnya, menjaga etika islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah
tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak dan
kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan didikan yang baik,
serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip islam.
Bimbingan
terhadap masyarakat, yaitu dengan menyebarkan da’wah, memerangi perilaku yang
kotor dan munkar, mendukung perilaku mulia, utama, melakukan amar ma’ruf,
bersegera mengerjakan kebaikan, menggiring opini umum untuk memahami fikrah
islamiyah dan mencelup praktek kehidupan dengannya terus menerus. Itu semua
adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap sebagai pribadi, juga
kewajiban bagi jama’ah sebagai institusi yang dinamis.
Demikianlah
bahwasanya keluarga adalah miniatur masyarakat Islam. Robohnya nilai Islam
dalam keluarga maka roboh pula nilai Islam di masyarakat. Jika kita
menginginkan daulah islamiyah (yang berarti menegakkan nilai-nilai Islam dalam
sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara), maka tegakkan dulu di hatimu
maka akan tegak di bumimu. Ingat jargon yang salimah ini: “takun daulatal
islamiyah fi qolbika takun fi ardlika”.
6.
Mengenal harakah islamiyah.
Hal ini
perlu dilakukan agar kita mengerti medan da’wah yang dihadapi, sehingga bisa
diatur taktik dan strateginya. Adapun yang perlu kita ketahui berkaitan dalam
hal ini antara lain: nama gerakan, manhaj-nya, nama pendirinya, nama
pemimpinnya sekarang, sejarah berdirinya, markasnya, jaringannya,
tokoh-tokohnya, buku-buku rujukannya, produk-produknya, bentuk-betuk
aktivitasnya, karakteristik gerakannya, kebaikan dan kekurangannya.
Untuk
mengetahui masalah ini kita perlu aktif mengadakan diskusi, tatsqif dan membaca
buku terkait. Dan yang penting kita harus senantiasa “buka mata buka telinga”
untuk terus mencari informasi dan mengikuti perkembangannya.
<b>B. MA’AL MAS’UL
(KETUA/PIMPINAN)</b>
- Dalam
da’wah Ikhwanul Muslimin seorang pemimpin mempunyai hak orang tua dalam
hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan memberikan ilmu.
-
Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah.
-
Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah secara
umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.
1. Taat,
yaitu melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi semangat atau
malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah.
“Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan
senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan
terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).
Jama’ah,
dalam merealisasikan tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan
memahami akan tuntutannya. Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al
Bana; faham, ikhlash, amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat,
ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada.
Organisasi jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian,
bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak segan-segan untuk
membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat. Jama’ah da’wah tidaklah demikian,
orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing
akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Jama’ah
kita mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi
dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya
sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu
menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.
2.
Tsiqoh, tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya.
Ibarat
seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya, dalam hal kapasitas
kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang
menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan serta ketaatan.
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap
sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An
Nisa’ (4):65).
Pemimpin
adalah unsur penting dalam dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan.
Kadar tsiqoh yang timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi
neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan
khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi
tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah segalanya dalam keberhasilan da’wah.
Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada
diri sendiri dengan tulus mengenai beberapa hal sbb:
-
Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat hidupnya
-
Kepercayaan terhadap kapasitas dan keikhlasannya.
-
Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi
perintah dan atau larangan yang berbeda dengan pendapat kita.
-
Kesiapan meletakkan seluruh aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.
3. Minta
izin, jama’ah mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan
aktivitas dengan jama’ah.
Sebenarnya
bergerak dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus
dipikul oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus
terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh
saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak
menyempal dari jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu
tertentu. .Harus ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus
ber-musyarokah. Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa:
“Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah tergantung
dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah tergantung dari mutu
muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan), dan mutu muhawaroh tergantung dari
bagaimana mutu ukhuwahnya”.
4.
Memuliakan mas’ul.
Memuliakan,
menghormati mas’ul tidak semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi
karena dirinya dipandang sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam
untuk menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan
kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jama’ah
5. Merahasiakan nasihat.
Di
antara sifat mu’min adalah suka nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling
berwasiat dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi
penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan
hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga
mas’ul harus lapang dada, dan bersyukur dalam menerimanya.
“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum
muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).
Adapun
adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan
memilih ketepatan suasana dan cara. Paling tidak ada tiga hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, berilah nasihat dalam bentuk yang paling baik, dan
nasihat tersebut hendaknya diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan
menasihatinya secara diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab
jika kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang banyak,
seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi
nasihat maka hati/niat kita tidak boleh berubah walau sehelai rambutpun. Tidak
merasa lebih mulia, tidak menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah
seorang pesakitan yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya
tak bergeser sedikitpun.
<b>C. DENGAN IKHWAH (SAUDARA
SEPERJUANGAN)</b>
1.
Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka.
2.
Menampakkan cinta pada mereka dan menahan marah karena kelalaian mereka.
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali
Imron:134)
Manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput
dari sifat itu. Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi
memutuskan hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah
dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap
menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu
ciri kehidupan masyarakat muslim.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka” (Al Fath:29)
Bahkan
kadang kala kecintaan itu kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra
berkata; Bersabda Rasulullah SAW: “Jika seorang mencintai saudaranya, maka
beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah” (Abu Dawud).
Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah
nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata:
“Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”, kemudian orang
itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah” (HR Bukhari).
Marah
itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan
menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala surga.
Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah
SAW: ”Siapa yang menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di
hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian
disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).
3.
Mendo’akan mereka ketika ghaib
“Mintalah ampun untuk dosamu sendiri dan untuk
kaum muslimin lelaki dan perempuan” (Muhammad: 19)
Wujud
ukhuwah Islamiyah yang telah dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat
nyata, bukan seruan bibir semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan
saudaranya yang baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya
untuk sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman”
(Al Hasyr: 10)
Abu Darda’ RA berkata, bersabda Rasulullah SAW:
“Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan itu
do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada Malaikat yang
ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut:
amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu)” (HR.
Muslim).
4.
Bantulah saudaramu baik dalam kondisi mendzolimi atau terdzolimi, yaitu
mencegah kejahatannya.
<b>D. DENGAN MUAYYID
(PENDUKUNG)</b>
1.
Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan
yang lain, dan tidak pula meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka
sebagai kasta rendah tak bernilai.
2.
Mendahulukan yang terpenting dari yang penting, dan permulaan yang terbaik
adalah menempatkan aqidah dalam hati
3.
Sedikit dalam nasihat.
4.
Menghindari cara menggurui, meskipun dengan argumen yang jitu.
5.
Hindari jawaban langsung atau kritik pedas
6.
Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan
yang sepele atau debat yang tak bermanfaat.
7.
Menganggap mereka (mad’u) cerdas dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang
dalam menjelaskan yang aksiomatik (badihiyat).
8.
Setiap ucapan ada tempatnya, setiap tempat ada perkataannya, “khotibun naas
‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).
9. Mempelajari
kondisinya dan mengetahui akan halnya:
Jangan
mencacinya apabila terlambat dari kegiatan
Jangan
memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu
Jangan
membebani melebihi kemampuan
10.
“Membina tidak cukup sehari semalam”.
11.
Jadilah qudwah baginya dalam segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3)
12.
Terus menerus dalam menda’wahi sampai tampak hasilnya.
<b>E. DENGAN IKHWAN (SAUDARA-SAUDARA
SEPERJUANGAN)</b>
1.
Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka
2.
Menampakkan cinta dan menahan marah serta dendam
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf
sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu
dengan saudaramu” (HR.Muslim)
3.
Mendo’akan mereka ketika ghaib. (“Do’a seorang muslim kepada saudaranya
terkabulkan dalam kesendiriannya, pada kepala orang itu ada malaikat yang
ditugaskan setiap dia berdoa kebaikan untuk saudaranya, malaikat berkata: amin
dan akan mendapatkan seperti itu pula”) HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah dari
Abi Darda’.
4.
Mengakui pertolongan mereka baik dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa
kekuatannya (baca:kita) tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.
5. Tidak
suka mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.
6.
Saling menolong, “tolonglah saudaramu baik saat mendzolimi atau saat
terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.
7.
Mempermudah urusan-urusan yang sulit.
Salah
satu dari ciri seorang muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang
dialami saudaranya.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185)
“Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan
jangan kamu mempersulit, dan jika salah seorang di antara kamu ada yang marah,
maka hendaklah kamu diam” (HR. (Bukhari).
Dari
Ummul Mu’minin RA:
“Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah akan
memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika urusan itu
mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi
pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas dendam
kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali jika
larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya
semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Abu Qatadah
RA berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW berkata,
”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya, untuk mendapatkan
keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah
kesulitan (orang lain) atau melepaskan bebannya” (HR. Muslim).
8.
Memberikan nasihat.
Tak tersisa dalam hidup ini kecuali tiga
kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh dengannya, kalau
kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup
kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat di masjid
jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan penghalang. (Perkataan
Hasan Al Bashri).
Dan
berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia
mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu,
dan siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu”.
<b>F. DENGAN MUROBBI (PENDIDIK)</b>
1.
Penghargaan dan memuliakan mereka karena Allah SWT telah menjadikan mereka
sebab masuknya kalian ke dalam bintang yang besar (jama’ah) meskipun kalian
mendahuluinya.
Adab
dalam bergaul dengan murobbi adalah dengan memuliakannya karena Allah SWT,
memohonkan do’a bagi mereka. Karena mereka adalah orang-orang sholeh yang telah
meghantarkan kita ke jalan Allah SWT. Tidak diperkenankan bagi kita untuk
mencelanya, membesar-besarkan keburukannya dan berpaling bahkan membutakan diri
dari kebaikan-kebaikan yang telah kita terima. Kita hendaknya bersabar dalam
berjuang bersama-sama mereka, tidak terprovokasi oleh orang-orang hendak yang
menjerumuskan, melemahkan atau membelokkan arah jalan da’wah kita, misalnya ada
yang sering mengatakan kita dengan eksklusif, taqlid buta, jumud, tarbiyah tak
akan mendapatkan apa-apa dan bukan segalanya untuk apa diteruskan, dan
suara-suara miring lainnya. Ingatlah firman Allah SWT.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang
yang menyeru Rabb-nya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
mereka adalah kaum yang melampaui batas” (Al Kahfi:28).
Dahulu
kita dalam keterpurukan jahiliyah, dan sekarang tampak kemilau cahaya
keislaman, kemudian memasukkan kita ke dalam sebuah gerakan besar, mewujudkan
segala potensi yang selama ini terpendam, serta mengikatnya dengan jalinan
ruhul islami.
“Manusia itu ibarat barang tambang seperti
logam emas dan perak, terpandangnya mereka ketika masa jahiliyah akan
terpandang juga ketika masa islamnya, jika mereka telah memahami. Adapun
ruh-ruh itu ibarat laskar tentara yang siap tempur, maka yang saling mengenal
akan intim, sedangkan yang tidak mengenal akan berceceran” (HR. Bukhori dan Asy
Syaikhoni)
Siapakah
yang mengasah dan membentuknya ke arah itu? Adalah para murobi tercinta!
2. Sesungguhnya mereka bukan ustadz-mu dahulu saja, maka
jangan kalian putus mereka, dan hormatilah mereka serta keluarga mereka untuk
di ziyarahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar